Opini : Sekolah Bagi Kaum Marjinal, Impian?

“Negara hadir untuk melindungi mereka yang terpinggirkan”. Kutipan yang tertulis dalam laman PresidenRI.go.id ini menjadi perbincangan yang perlu ditelaah lebih dalam lagi, berapa banyak kaum marjinal yang ada di Negara kita dan sejauh mana upaya pemerintah mengentaskan ketidakstabilan ekonomi dalam masyarakat ? Pertanyaan yang jawabannya bisa digali dalam diri kita sendiri. 

Ketidakpedulian kita dalam menanggulangi masalah ini juga bisa jadi pemicu tersebarnya kaum marjinal yang semakin hari semakin membludak jumlahnya. Tak melulu harus memberikan sesuatu yang wah, hanya saja kita punya hari nurani untuk sekedar memberikan motivasi dan semangat hidup kepada mereka, terbesit rasa simpati dalam diri untuk memberikan upaya dalam melakukan apa yang semestinya dilakukan, yang dalam hal ini merupakan bagian dari halal tidaknya suatu pekerjaan.

Kaum marjinal sebagai kelompok masyarakat pra sejahtera baik di desa maupun di kota terdapat dalam berbagi lini. Di perkotaan misalnya, kaum marjinal menduduki posisi sebagai pengemis, pemulung, dan buruh kasar. Suatu keseharian antara baik tidaknya pekerjaan, menjadi pengemis bagi kaum marjinal perlu diangkat setinggi-tingginya, jangan sampai sebagai masyarakat yang baik kita mendapati keluarga di lingkungan kita yang berprofesi sebagai pengemis, sentil hati untuk sekedar mengarahkan dan memberikan wejangan, agar perasaan keberterimaan di lingkungannya sedikit terobati. 

Pedesaan, terkenal dengan rakyat yang makmur akan hasil alamnya, mencukupi kebutuhan hidupnya dengan sederhana dari jerih payahnya, tak melulu mencondongkan bahwa mereka juga hidup tak membutuhkan kharisma. Pekerjaan yang ditekuni lebih mengarah pada buruh tani, nelayan, pekerja kebun dan sebagainya. Dalam realitanya, mereka mendapatkan upah dari setiap keringat hanya sebatas menggugurkan kewajiban hidupnya, upah yang diperoleh hanya mampu dibelikan sesuap nasi, tidak lebih.

Kaum marginal atau lebih mudahnya kita mengartikan kaum terpinggirkan. Ya, kasarannya seperti itu, tampaknya mulai merambah di Negara kita. Banyaknya para remaja dengan angka putus sekolah tinggi disebabkan karena masalah ekonomi, keluarga atau bahkan masalah dalam dirinya sendiri yang merupakan pemicu cukup signifikan dalam menguras habis problematika pendidikan yang saat ini tak lagi jadi pedoman. Mereka, kaum terpinggirkan perlu disongsong masa depannya oleh lapisan masyarakat dengan tingkat kepekaan tinggi. Mirisnya, masyarakat sekarang sangat sulit menyentil hati hanya untuk menengok kondisi kaum marjinal yang sudah lama mengharap ulur tangan dari kita.

Sebenarnya, pandangan sebelah mata tentang pendidikan sudah berhasil mengusut tuntas anak-anak muda sekarang. Bagaimana tidak, pemikiran dangkal mengenai angka bernama rupiah mudah didapatkan tanpa sekolah. Contohnya saja, yang sependapat dengan sekolah cari kerja, bukan sekolah cari ilmu, tentu saja lebih memfokuskan diri bahwa uang bisa didapat tanpa sekolah, kalau tanpa sekolah saja uang sudah banyak, mengapa harus sekolah. Nah loh, bagaimana cara kita mengubah mindset bahwa pendidikan itu perlu, karakter terbentuk melalui pendidikan dan dari pendidikan kita mendapat bonus berupa uang. 

Pendidikan rupanya masih menjadi ruang permasalahan yang cukup komplit di Negara kita. Posisinya berada di titik ambang masalah kependudukan, jadi mulai sekarang ubah fokus bahwa kita mampu mengangkat kaum marjinal menjadi kaum intelektual, generasi bangsa harus dibina dengan matang, semakin ke depan tuntutan zaman semakin menantang, apalagi kita sudah berada pada zaman disrupsi, dimana semua hal-hal nyata telah berubah menjadi maya, jangan sampai manusia berada di bawah teknologi, manusia harus tetap sama kedudukannya yakni di atas teknologi.

Keseharian kaum marjinal pada dasarnya tidak selalu negatif, di pedesaan misalnya, hampir sebagian masyarakat menggeluti pekerjaan yang sama, hanya saja mereka tersisihkan dari lingkungan masyarakat yang memiliki kedudukan di atasnya. Contoh lagi profesi pemulung, apa salahnya mereka bekerja sebagai pemulung, pekerjaannya halal dan berjasa bagi lingkungan dan masyarakat. Namun yang jadi permasalahan, pekerjaan pemulung kadang tak bisa mencukupi kebutuhan hidup mereka, akhirnya mereka hanya bekerja untuk melangsungkan hidup saja tidak bisa menyekolahkan anak. 

Seperti penjabaran di atas, Di era digitalisasi saat ini semua sudah tergantikan dengan teknologi. Lalu bagaimana agar manusia tetap berada di atas teknologi ? ubahlah pola pikir bahwa pendidikan itu penting. Maka semua akan bisa teratasi, direalisasikan saja, bahwa membludaknya kaum marjinal di Indonesia bisa disikapi dengan bijaksana, mengangkat derajat mereka sebagaimana mestinya dengan memberikan pekerjaan yang layak dan pendidikan gratis bukan hanya sampai di tingkat SMP, di atas naungan 12 tahun wajib sekolah. Kebanyakan anak-anak setelah lulus SMP tidak lagi melanjutkan sekolah karena pungutan dari sekolah dirasa memberatkan perekonomian mereka.

Kurang diterimanya di lingkungan masyarakat, menjadi jurang pemisah antara kaum marginal dengan lingkungannya. Sebenarnya simple saja, sebagai masyarakat yang baik hanya perlu menyentil hati sendiri dan membawa pada perasaan, bahasa gaulnya “baper“ bahwa mereka juga menginginkan hidup layak termasuk pendidikan. Pada generasi Z sendiri tentunya sudah sangat mudah kita dapat mengetahui keberadaan kaum marjinal, tidak perlu keluar rumah, bisa dilihat dengan tidur-tiduran, lihat Tv, atau yang lainnya lewat gadget kita. Teknologi memberikan pandangan yang luas tentang bagaimana kondisi di sekitar kita. Sayangnya, kita harus cerdas menyikapi adanya berita hoax yang tentunya banyak beredar.

Penulis : Wafiqotin Nazihah 


Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang

Posting Komentar

Admin infodapodik tidak bertanggungjawab atas isi komentar yang ditulis. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator.

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak